Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada impor Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis, seperti pakan ikan, menjadi isu kunci dalam kasus PT CJ CFS yang mempertegas pentingnya pembuktian teknis yang selaras dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2015. Kasus ini mengulas sengketa banding terhadap Surat Penetapan Kembali Tarif dan/atau Nilai Pabean (SPKTNP) yang diterbitkan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC), di mana koreksi PPN 10% dikenakan atas impor Fish Feed dengan HS Code 2309.90.19.00. Konteks utama sengketa ini berpusat pada perbedaan penafsiran mengenai substansi barang: apakah barang tersebut adalah pakan ikan sebagai produk akhir yang dibebaskan PPN, atau hanya sekadar bahan baku pakan yang dikenakan PPN.
Inti konflik dalam perkara ini adalah ketidaksepakatan mengenai kualifikasi barang impor. DJBC berargumen bahwa barang tersebut merupakan bahan baku untuk pembuatan pakan ternak, dan bukan pakan ikan siap konsumsi yang secara eksplisit disebutkan dalam PP 81/2015 dan PMK 267/PMK.010/2015 sebagai Barang Kena Pajak Strategis yang dibebaskan PPN. Penafsiran restriktif ini berujung pada penetapan PPN impor sebesar 10%. Di sisi lain, PT CJ CFS dengan tegas membantah koreksi tersebut. Mereka mempertahankan posisi bahwa barang yang diimpor secara teknis dan legal adalah Fish Feed (Pakan Untuk Ikan), yang didukung oleh dokumentasi impor yang memadai serta bukti teknis seperti hasil uji laboratorium yang menegaskan status produk sebagai pakan jadi, bukan bahan mentah.
Dalam fase resolusi, Majelis Hakim Pengadilan Pajak secara mendalam menguji bukti-bukti yang diajukan oleh PT CJ CFS. Majelis berkeyakinan bahwa berdasarkan Commercial Invoice, Bill of Lading, dan hasil uji teknis, komoditas impor tersebut benar-benar adalah Pakan Ikan yang siap digunakan, yang berarti telah memenuhi definisi legal dalam regulasi PPN strategis. Argumentasi DJBC yang mengklasifikasikan barang sebagai bahan baku pakan dianggap Majelis tidak didukung oleh fakta substantif. Oleh karena itu, Majelis menyimpulkan bahwa PT CJ CFS berhak penuh atas fasilitas pembebasan PPN impor dan memutuskan untuk mengabulkan seluruh permohonan banding.
Putusan ini menghasilkan analisis dan dampak yang signifikan, terutama bagi Wajib Pajak di sektor pakan ternak dan perikanan. Implikasi putusan ini memperkuat prinsip bahwa dalam sengketa fasilitas PPN, pembuktian substantif Wajib Pajak, khususnya melalui bukti teknis yang kredibel, lebih dominan daripada penafsiran formalitas administrasi oleh otoritas. Putusan ini menjadi preseden penting yang mengingatkan perusahaan multinasional, seperti PT CJ Cheiljedang Feed Semarang, untuk senantiasa memastikan sinkronisasi antara deskripsi barang dalam dokumen impor, klasifikasi teknis, dan diksi legal dalam peraturan PPN. Kejelasan ini krusial untuk meminimalkan risiko sengketa yang berlarut-larut.
Sebagai kesimpulan, kasus ini menyoroti kompleksitas penerapan ketentuan PPN strategis. Pelajaran penting yang dapat diambil adalah bahwa kepastian hukum perpajakan bagi Wajib Pajak sangat bergantung pada kelengkapan dan kredibilitas dokumentasi teknis. Wajib Pajak disarankan untuk proaktif dalam menyiapkan bukti yang membuktikan bahwa produk impornya, meskipun masuk dalam kategori HS Code yang luas, secara substantif memenuhi kriteria sebagai barang strategis yang dibebaskan PPN, seperti yang diamanatkan oleh peraturan PPN di Indonesia.
Analisa Komprehensif dan Putusan Pengadilan Pajak atas Sengketa Ini Tersedia di sini